Senin, 27 Juni 2011

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

NAKBAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Konsep dasar tentang perkembangan manusia adalah bahwa hidup manusia tidak pernah statis, sejak lahir sampai meninggal manusia selalu mengalami perubahan. Perubahan yang di alami manusia merupakan integrasi dari berbagai perubahan struktur dan fungsi karena suatu perubahan bergantung pada hal-hal yang dialami sebelumnya dan dapat mempengaruhi hal-hal sesudahnya. Secara umum perubahan yang terjadi pada manusia meliputi perubahan fisik, perubahan proporsi, hilangnya sifat-sifat atau keadaan tertentu, serta munculnya sifat-sifat atau keadaan baru.

Pada aspek perkembanan manusia terdapat periode-periode perkembangan manusia yang dimulai dari sejak konsepsi sampai kelahiran, sejak lahir sampai 10-14 hari, sejak usia 2 minggu sampai 2 tahun, sejak 2 tahun sampai masa remaja yang meliputi 2 tahap yaitu masa anak-anak awal( sejak 2 tahun sampai 6 tahun akhir) dan masa kanak-kanak akhir( sejak usia 6 tahun sampai usia 13 tahun untuk anak perempuan serta 14 tahun untuk anak laki-laki), periode masa pubertas(sejak usia 11 sampai 16 tahun). Menurut Feldan kehidupan manusia berlangsung mulai bertahap, tahapan kehidupan manusia ini sama halnya dengan perubahan geologis bumi yang menjadi evolusi kehidupan bertahap.

Proses perkembangan fisik mempunyai pengaruh langsung pada anak, misalnya perkembangan fisik anak yang normal pada kondisi apapun anak dapat menyesuaikan dengan lingkungan sosial serta usianya sedangkan anak yang mengalami kelainan fisik akan mengalami hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Contoh nyata terhadap masalah yang dialami anak bekebutuhan khusus misalnya saja apa yang terjadi dilingkungan tempat tinggal saya. Anak tersebut mempunyai nama Andri, dia sejak lahir sudah mempunyai masalah keterbelakangan mental. Dia selalu mendapat perlakuan yang berbeda dengan teman-temanya sehingga tidak ada yang mau berteman dengan dia. Semua orang mencemooh serta merasa risih kalau berada dekat dengan dia sampai-sampai orang yang merasa risih memukulnya dengan batang sapu ataupun kayu dan tidak ada perlawanan dari anak tersebut. Sikap kedua orang tua anak tersebut tidak peduli dengan kondisi anaknya yang mempunyai kekurangan, mereka lebih mementingkan dirinya sendiri serta memberikan perlakuan berbeda antara anak tersebut dengan anaknya yang normal. Kisah ini adalah nyata dialami teman saya yang mempunyai keterbelakangan mental di desa saya yaitu Sapuran. Sekiranya sedikit cerita tersebut dapat memberikan gambaran bahwa tidak semua orang khususnya keluarga, anak-anak normal, masyarakat dapat menerima anak berkebutuhan khusus.

Pada proses perkembangan sosial anak dituntut untuk mentaati aturan yang berlaku dimasyarakat. Di dalam proses perkembangan sosial terdapat landasan pemikiran yang relatif tidak berubah-ubah, hal ini sesuai dengan pola perkembangan fisik serta mental dan tekanan serta tuntutan sosial yang mengarahkan pengalaman belajar yang sama bagi semua anak, misalnya adalah bila seorang anak yang menunjukkan perilaku yang berbeda dibandingkan anak-anak sesamanya, maka hal tersebut boleh dikatakan bahwa anak tersebut mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal tersebut merupakan salah satu ciri-ciri dari anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan bantuan orang lain agar segala sesuatu untuk hidupnya dapat teratasi. Jika di hadapkan pada kehidupan sosial anak berkebutuhan khusus cenderung dianggap sebelah mata bahkan dia mendapat perlakuan yang berbeda dari lingkungan akibat dari kelainan yang ada pada dirinya. Tanggapan sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan anak-anak tersebut dan keluarganya berorientasi bahwa kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus adalah kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain. Akibatnya keluarga dan anak berkebutuhan khusus akan di kucilkan sehingga secara langsung dapat mempengaruhi kondisi perkembangan psikologis anak berkebutuhan khusus maupun kedua orang tuanya. Menurut Thompson dkk. (2004) menyatakan bahwa pandangan atau penilain negatif dari lingkungan terhadap anak cacat dan keluarganya merupakan tantangan terbesar selain kecacatan yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh yang bersangkutan beserta keluarganya. Bahkan cara pandang masyarakat yang negatif menjadi stigma yang berkepanjangan (Rahardja, 2006). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Thompson (2004) bahwa pandangan negatif dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra diri yang negatif dari anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus seharusnya mendapat perhatian sama seperti halnya anak normal karena mereka juga manusia yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari sesamanya.


B. Rumusan Masalah
1. Apa masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus ?
2. Dampak yang di hadapi anak berkebutuhan khusus, keluarga serta masyarakat?
3. Upaya yang dilakukan keluarga, masyarakat, pemerintah, serta lulusan PLS terhadap anak berkebutuhan khusus?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus sering kali di kenal sebagai anak yang memiliki kekurangan baik mental maupun fisik, tetapi anak yang memiliki kelebihan seperti anak berbakat juga disebut sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak yang berbeda dari rata-rata umumnya dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan berfikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi dan bergerak merupakan anak yang memiliki kelainan dari anak-anak normal.( Hallan & Kaufmann). Didalam kehidupan masyarakat anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus kurang mendapat tempat untuk mengekspresikan apa yang dia mau. Tingkat angka anak berkebutuhan khusus pada masyarakat kelas menengah kebawah masih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor gen atau bawaan dari orang tua maupun kurangnya asupan-asupan gizi yang dimakan orang tua saat mengandung si anak.

Di dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memperoleh pendidikan luar biasa. Hal ini di tegaskan dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa “pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”.

Pada kenyataannya pendidikan anak berkebutuhan khusus kurang diperhatikan sehingga menyebabkan mereka semakin tersingkirkan. Di Indonesia dari 33 propinsi hanya ada 2 propinsi yang mampu menyediakan layanan pendidikan inklusif yang bermutu serta menyediakan sarana prasarana yang memadai bagi anak berkebutuhan khusus yaitu propinsi Aceh dan Jawa Timur, persentase anak berkebutuhan khusus yang menempuh jenjang SD adalah 0,00018% atau 29.498.266 anak sedangkan anak berkebutuhan khusus yang menempuh jenjang SMP adalah 0,00012% atau 10.961.492, hal ini menunjukkan cukup bukti bahwa anak kebutuhan khusus kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan meskipun ada sekolah luar biasa tetapi biaya pendidikan pada sekolah tersebut cukup tinggi sehingga menyebabkan masyarakat kelas menengah kebawah tidak mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah luar biasa. Tetapi orang tuapun akan memikirkan dua kali untuk memasukkan anaknya pada sekolah inklusif biasa karena mereka takut jika anaknya sekolah pada sekolah inklusif anaknya akan tertinggal jauh dengan anak yang normal dan hanya akan membuat anak mereka semakin tertekan sebab kebanyakan anak yang sekolah di sekolah inklusif biasa adalah anak normal, dari pengertiannya sekolah inklusif merupakan sekolah percampuran anatara anak normal dan anak berkebutuhan khusus. Menurut Piaget( Choirul Anam, 1983) anak berkebutuhan khusus mengalami keterlambatan sekitar dua bulan dibanding dengan anak normal.

Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan karakteristik serta psikologi anak berkebutuhan khusus serta masalah-masalah sosial yang dihadapi, yaitu
1. Tunanetra
Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional memalui ekspresi atau reaksi-reaksi wajah untuk menyampaikan perasaan yang dirasakan pada orang lain. Keterbatasan membuat anak tunanetra mendapat tempat tidak menguntungkan di masyarakat seperti bentuk penolakan, penghinaan, ketidakjelasan tuntutan sosial. Menurut Sukini Wilopo ( 1976) berpendapat bahwa gambaran sifat tunanetra seperti ragu-ragu, rendah diri serta curiga pada orang lain. Selain itu anak tunanetra sulit belajar sosial dalam bentuk mengidentifikasi serta imitasi. Namun menurut Adler seorang tunanetra berkembang karena perasaan rendah diri ( inferier) yang akan mendorong dirinya untuk berkembang.
2. Tunarungu
Tunarungu sebagai individu yang memiliki kekurangan sehingga di mata masyarakat mereka dinilai individu yang kurang berkarya. Akibat dari terhambatnya komunikasi sosial membuat minimnya pertambahan penguasaan bahasa serta kecenderungan untuk menyendiri sehingga akan mengalami hambatan dalam berbicara.
3. Tunagrahita
Tunagrahita merupakan anak-anak yang memiliki IQ dibawah rata-rata, hal tersebut sering disebut sebagai keterbatasan intelegensi. Jika dihadapkan dengan kehidupan masyarakat, anak-anak tuna grahita memiliki ketergantungan yang besar terhadap orang lain terutama orang tuanya( Zigler dan Steneman, 1961-1969) tidak dapat memikul tanggung jawab sosial karena harus selalu dibimbing dan diawasai, mudah terpengaruh, serta cenderung berteman dengan anak yang lebih muda.
4. Tunadaksa
Mendapat perlakuan yang berbeda atau reference group akibat keterbatasannya. Didalam lingkungan sosial mereka dianggap sebagai individu yang tidak dihargai sehingga anak-anak tunadaksa menilai dirinya sebagai anak yang tidak berguna.

B. Dampak Masalah Yang Di Hadapi Anak Berkebutuhan Khusus
Dampak yang terjadi akibat diskriminasi terhadap perkembangan psikologis anak berkebutuhan khusus adalah mereka lebih takut untuk bergaul dengan teman sebayanya, frustasi, munculnya perilaku-perilaku aneh terhadap lingkungan baru, dan lain-lain. Setelah menguraikan apa masalah-masalah yang di hadapi oleh anak berkebutuhan khusus maka dapat ditarik suatu dampak akibat dari permasalahan tersebut yang berupa dampak baik positif maupun negatif. Anak berkebutuhan khusus seharusnya mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat serta pemerintah karena anak-anak tersebut mempunyai jiwa dan perasaan seperti anak-anak normal lainnya.

Masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus jika dilihat dari sudut pandang pembangunan multidimensi sebagai objeknya. Didalam pembangunan multidimensi akan dibahas tiga sudut pandang yang menjadi masalah anak berkebutuhan khusus dalam dibidang ekonomi, sosial budaya serta politik.
1. Ekonomi
Sebagian dari mereka yang tidak bersekolah mereka memilih untuk bekerja serta kondisi keluarga yang serba kekurangan mendorong anak berkebutuhan khusus untuk dijadikan alat mendapat uang, mereka menggantungankan dirinya dengan mengemis ataupun mengamen. Mereka tidak bersekolah karena mereka tahu posisi kekurangan mereka yang membuat mereka di tolak oleh masyarakat terutama teman-teman disekolahnya. Sebenarnya anak-anak berkebutuhan khusus ingin hidup seperti anak normal sehingga sebagian anak berkebutuhan khusus lebih memilih untuk tidak bergantung pada orang lain terutama orang tuanya. Mereka bekerja dengan mengandalkan belas kasihan orang lain agar memperoleh uang. Namun hanya sedikit sekali anak berkebutuhan khusus yang sukses meniti kariernya lebih bagus.
2. Politik
Diskriminasi yang dilakukan orang tua terhadap anak yang normal dengan anak berkebutuhan khusus, sehingga menyebabkan masalah yang dapat menghambat perkembangan psikologi anak berkebutuhan khusus. Contoh dari kisah Andri merupakan salah satu bentuk pendiskriminasian keluarga terhadap anak. Dia mendapat perlakuan yang berbeda dari keluarga maupun teman-temannya sehingga dia memilih menyendiri.
3. Sosial Budaya
Anak berkebutuhan khusus sering di pandang sebelah mata sehingga menyebabkan mereka kurang percaya diri jika dihadapkan dengan lingkungan sosialnya. Seharusnya anak berkebutuhan khusus mendapat pelayan yang sama dimasyarakat karena berdasar atas HAM yang mereka miliki. Disini peran mewujudkan keadilan sosial ada kaitannya untuk menuju pembangunan. Berdasar teori dari McClelland yaitu need for achievement yaitu konsep bahwa kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi. Ini dapat disimpulkan bahwa dorongan akan membuat anak-anak tersebut lebih semangat berprestasi untuk mendapatkan kepuasan dari apa yang telah mereka peroleh dan hasilkan. Sehingga mereka akan memiliki usaha agar dapat mandiri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain.


C. Upaya Yang Dilakukan Keluarga, Masyarakat, serta Pendidikan Luar Sekolah
v Keluarga
Memberikan kasih sayang dan mengajarkan pada mereka (anak berkebutuhan khusus) agar tidak berkecil hati dengan kondisi yang dimiliki walaupun mereka memiliki kekurangan dari anak-anak normal lainnya. Misalnya saja mengajarkan untuk selalu jujur, sopan santun, menolong orang lain yang membutuhkan. Tindakan antisipasi(preventif) membuat orang tua melakukan penilaian perkembangan sejak dini jika anak mengalami gangguan baik fisik maupun mental. Menurut Illingworth(1989) penilaian perkembangan semasa bayi terdapat manfaat sebagai prediktor kemampuan anak dikemudian hari asalakan penilaian dilakukan dari berbagai segi yaitu mengetahui berbagai variasi dari perkembangn normal, kemampuan berbahasa(bidang yang banyak nilai prediksinya) serta perkembangan motorik atau mempunyai nilai prediksi rendah. Penilaian lainnya dalam perekembangan antara lain kemampuan mengemukakan pendapat, kecakapan mengurus diri, serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

v Masyarakat
Dengan memberikan tempat atau wadah bagi anak berkebutuhan khusus seperti anak-anak normal lainnya karena mereka membutuhkan perhatian layaknya anak-anak lainnya. Misalnya saja mengikutsertakan mereka dalam setiap kegiatan remaja agar mereka dapat menyumbangkan ide-idenya.
v Pendidikan Luar sekolah
Menyediakan tempat atau lembaga pelatihan agar mereka yang memiliki kebutuhan khusus dapat mempunyai ketrampilan sehingga dapat membekali mereka untuk masa depannya. Misalnya saja membuka ketrampilan menjahit, membuat tempat bunga(vase), membuat aneka kue, usaha pembudidayaan ikan. Melalui pembekalan life skills diharapkan anak-anak tersebut mempunyai semangat untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Peran lainnya adalah program kesetaraan bagi anak berkebutuhan khusus agar memperoleh pendidikan yang setara


Cara mengubah pandangan keluarga serta masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus adalah dengan cara pemberian sosialisasi serta pengertian pada keluarga dan masyarakat bahwa anak berkebuthan khusus juga mempunyai hak asasi manusia sehingga dia perlu mendapat perhatian dan kasih sayang. Pembekalan ketrampilan agar mereka mampu membuktikan pada keluarga serta masyarakat bahwa mereka mampu mengembangkan potensi yang dimiliki serta kemampuannya sehingga mampu memperoleh kehidupan yang layak, misalnya saja pianis muda asal korea, dia mampu membuktikan bahwa dia mampu bermain piano walaupun dengan kekurangan yang dimiliki.




BAB III
PENUTUP

Bahwa anak berkebutuhan khusus perlu mendapat dukungan baik dari segi material maupun spiritual karena dengan adanya penerimaan diri mereka dimasyarakat mereka akan lebih terbuka dan merasa percaya diri dengan diri mereka yang jauh berbeda dengan yang lain.

Pendirian wadah atau tempat khusus misalnya pelatihan life skill, sekolah-sekolah bagi anak-anak berekebutuhan khusus mampu meningkatkan kemampuan yang ada dalam diri anak berkebutuhan khusus.

Dengan memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkelainan untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran berarti akan memperkecil kesenjangan angka partisipasi pendidikan anak normal dengan anak berkelainan. Selanjutnya investasi jangka panjang dengan lahirnya para penyandang cacat yang terdidik dan terampil secara tidak langsung dapat mengurangi biaya pos perawatan dan pelayanan kebutuhan sehari-hari (Effendi, 1999).

Kecacatan bukan berarti harus dipandang sebelah mata tetapi sebagai orang normal harusnya menghargai serta mengerti posisi para anak berkebutuhan khusus.




DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Effendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.
Jakarta: PT Bumi Aksara.

Rahardja, Djadja. (2006).Pengantar Pendidikan Luar Biasa.Criced University of
Tsukuba, Jepang

Soemantri, Sutjihati. 1996. Psikologi anak Luar Biasa. 1996. Jakarta: Dikdasmen.

Undang- Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia Pasal 32 ayat 1

www.KOMPAS.com. Untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus. Kompas : Jumat, 20 Mei 2011 , 06:54 WIB

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

......RISA.....